Bima, tamansiswabima.ac.id — Di tengah hamparan ladang dan suara angin di Desa Ntoke, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, seorang gadis muda sedang sibuk menulis, bukan hanya kata-kata, tapi juga nasibnya sendiri. Dialah Runy Angriani, mahasiswa STKIP Taman Siswa Bima yang membuktikan bahwa asal-usul bukanlah batasan untuk menggapai langit prestasi.
Runy bukan berasal dari keluarga berada. Ayah dan ibunya adalah petani sederhana. Sehari-hari, ia hidup dengan keterbatasan yang tak semua anak muda mampu bertahan di dalamnya. Namun, di balik sederhananya hidup, ada impian besar yang tak pernah padam dalam hati gadis kelahiran Penatoi ini.
“Yakin bisa kuliah? Di Bima saja sulit, apalagi sampai ke Jawa? Orang tuamu cuma petani…”
Itulah kalimat yang pernah mampir ke telinganya. Pedih, namun justru menjadi bahan bakar bagi tekadnya. Ia mendaftar kuliah di Tamsis Bima dengan keyakinan kuat, membawa serta harapan orang tua dan cita-cita yang tak boleh padam.
Sejak awal kuliah, Runy menunjukkan karakter tangguh. Bukan hanya unggul di akademik, ia juga aktif di organisasi, rajin ikut webinar nasional, hingga memberanikan diri ikut lomba-lomba menulis—cerpen, puisi, hingga karya tulis ilmiah. Jalan itu bukan tanpa hambatan. Namun langkahnya terus mantap.
Pada semester kedua, dorongan seorang dosen membuatnya mendaftar sebagai calon Duta Baca kampus. Hasilnya, ia dinobatkan sebagai Duta Baca dari Prodi PGSD dan berhasil masuk empat besar tingkat institusi. Gelar itu menjadi awal dari jejak panjang prestasi yang ia ukir dengan tinta semangat dan kerja keras.
Runy mulai menulis antologi dan mengirim naskah ke tingkat nasional. Satu demi satu, naskahnya diterima dan bahkan mendapatkan predikat Penulis Terbaik Nasional. Hingga kini, ia telah menulis tujuh buku bersama penulis nasional dan dosen, serta menerbitkan tiga artikel ilmiah resmi.
Namun, puncak kebanggaan datang ketika ia lolos Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) dan belajar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Di situlah, mimpi masa kecilnya untuk menginjakkan kaki ke Pulau Jawa terwujud.
"Itu mimpi masa kecil yang dulu terasa mustahil karena kondisi ekonomi keluarga yang tumpur saat itu," ungkapnya lirih, mengenang masa-masa sulitnya.
Setelah PMM, ia melanjutkan kiprahnya dalam Program Kampus Mengajar Angkatan 8, mengabdi di SDN Naru Ranggasolo. Tak berhenti di situ, ia aktif mengikuti berbagai kegiatan pengabdian masyarakat dan pengabdian literasi di berbagai desa di Bima.
Apa yang membuat perjalanan Runy berbeda bukan hanya soal jumlah prestasi, tapi cara ia meraihnya dengan tekad, kerja keras, dan hati yang tak gentar. Tak sedikit lomba ia ikuti tanpa biaya karena tak mampu membayar pendaftaran. Ia mencari peluang gratis, menembus keterbatasan dengan strategi dan semangat.
Kini, setelah 3,6 tahun menempuh pendidikan, Runy siap lulus tanpa skripsi, tetapi dengan jalur artikel ilmiah bersinta, capaian bergengsi bagi mahasiswa yang tekun meneliti dan menulis.
Di balik pencapaian itu semua, ada malam-malam panjang berisi air mata, perjuangan membagi waktu, dan rasa rindu pada kampung halaman. Tapi bagi Runy, semua itu adalah harga dari sebuah mimpi.
“Kalau saya menyerah karena keterbatasan, saya tak akan pernah sampai di titik ini. Saya bukan siapa-siapa, hanya anak petani dari desa kecil yang tak pernah berhenti bermimpi,” ujarnya sambil tersenyum.
Kisah Runy Angriani adalah tamparan lembut bagi siapa pun yang tengah ragu pada mimpinya. Bahwa jalan sukses memang tak mudah, tapi selalu terbuka bagi mereka yang bersedia melangkah. (Tim)